ABSTRAK
Di era ini, sering kali umat Islam dihadapkan pada kasus,
radikalisisi yang mengatas namakan Islam, seperti Islampobia, negara khilafah
dan Islam agama teroris. Islam seolah dijadikan kambing hitam, dari setiap kasus
kekerasan yang mengatas namakan agama, hadirnya Islam dimuka bumi, seakan
menjadi bencana buruk, bagi keberagama makhluk hidup. Kekerasan tersebut pada
kenyataanya, berangkat dari kesalahan umat Islam, memahami Islam, sebagai
rahmat bagi seluruh alam.
Mayoritas umat Islam memahami, Islam sebagai rahmatan lilalamin,
adalah agama Islam sebagai keniscayaan bagi semua umat manusia, menjadikan
Islam sebagai satu-satunya agama yang benar di muka bumi ini, Islam adalah
pintu keselamatan, sehingga orang yang tidak beragamakan Islam, dia tidak akan
selamat, mereka digolongkan pada orang yang dzalim di dunia, sehingga kematian
adalah jawaban yang terbaik bagi orang dzalim. Dari kesalah fahaman tersebut,
membawa pada tindakan anarkis selain Islam.
Berangkat dari hal itu, seakan perlu bagi penulis, untuk mengkaji ulang
tentang Islam, membuat kontruksi ulang tentang Islam, sebagai agama yang
menjunjung tinggi martabat kemanusiaan. Perlu bagi penulis untuk menyusun Rumusan
masalah sebagai berikut, pertama. Bagaimana kehidupan Arab sebelum
Islam? Kedua bagaimana kehidupan bangsa Arab pada masa Nabi Muhammad? Bagaimana
jawaban Islam atas ketimpangan sosial yang terjadi di Mekah sebagai agama rahmatan
lil alamin? Kehidupan bangsa Arab sebelum Islam, manifestasi dari manusia
tampa petunjuk, sedangkan bangsa Arab di masa Nabi Muhammad, adalah menifestasi
nyata dari Islam itu sendiri, sebagai agama yang dibawakannya.
Dalam memaknai Islam rahamatan lil alam, penulis menggunakan
pendekatan historis, sebagai pola untuk memahami peta konsep ajaran Islam
sendiri. Melihat beberapa hal yang berkaitan dengan Islam, seperti ajaran dan
kepercayaan, tidak lepas dari sejarah, bahkan metode yang ditawarkan oleh
beberapa ilmuan Islam klasik, dalam menginterpretasikan al-Quran sebagai kitab
suci umat Islam, tidak lepas dari sejarah (asbabun nuzul). Menurut Sri
Haryanto pendekatan historis dalam Islam, sangat dibutuhkan, mengingat
Islam datang kepada seluruh umat manusia, berkaitan erat dengan sosial kultural
masyarakat dimasing-masing tempat.[1]
Pendefinisian pendekatan sejarah pada kenyataannya sangat beragam,
menurut Edward Freeman, sejarah diartikan sebagai politik masa lampau. Tetapi
menurut Ernst Bernheim yang dikutip oleh Harun Nasution, sejarah diartikan
sebagai ilmu untuk mengetahui perkembangan manusia, dalam upaya mereka sebagai
mahkluk sosial.[2]
Hal tersebut yang menjadi latar belakang penulis, untuk mengkaji Islam rahmatan
lilalamin, melalui pendekatan sejarah, mengingat banyak faham Islam di era
ini yang mengesampingkan aspek sosial kulturan lahirnya agama Islam.
Dari tulisan singkat ini, setidaknya umat Islam khususnya mampu,
mengejawantahkan Islam sebagai rahamatan lilalami, kalau boleh penulis
menyebut istilah yang ditawarkan Gus Dur, yaitu membumikan Islam. Sehingga
Islam tidak saja dipandang dengan doktrin-doktrin keagamaan semata, tetapi
Islam juga pernah mencatatkan namanya dalam tinta sejarah kemajuan pradaban
manusia. Islam hanya memandang manusia sebagai objek dari suatu ajaran saja,
tapi Islam memandang manusia sebagai subjek aktif yang mengatur gerak kehidupan
dunia.
B. Arab Pra Islam
Mekah pada masa lulu menempati posisi yang sangat sentral dalam
perdagangan nasional, sama halnya dengan ibu kota kedua dari Arab, sekarang
dikenal dengan nama Madinah, Madinah meski tidak sepopuler kota Mekah, Madinah
adalah oase (tempat geografis) yang subur dalam perniagaan. Masyarakah Mekah
pada waktu itu, tidak ada pendapatan apapun yang bisa dicari, untuk memenuhi
kebutuhan hidup, kecuali dengan berdagang di dekat Ka’bah. Kota Mekah yang
tandus, pertanian dan beternakan di kota Mekah adalah impian indah disiang
bolong, kota Mekah sangat tergantung pada bahan impor negara lain, sehingga
pendapatan masyarakat Mekah sangat khas dengan perniagaan.
Quraisy yang merupakan salah satu kafilah yang ada di Arab, kafilah
Qiraisy menampati posisi yang sangat penting dalam perniagaan, disebab aspek
religiusitas bangsa quraisy yang sangat tinggi, menjelma sebagai keuntungan
yang tidak bisa ditawarkan. Sedikit banyak literatur yang penulis baca, suku
Arab bahkan rela menggadaikan nyawanya, demi mempertahankan gagasan tentang
Mekah dan Batu Hitam (al-Hajar al-Aswad) beserta patung-patung yang ada
dalamnya.[3]
Hal tersebut menjadi keutungan yang sangat besar pada aktifitas perniagaan yang
dijalankan bangsa Arab.
Menurut Armstrong bangsa Arab pada masa lalu, memegang teguh pada muru’ah,
dalam hal ini, muru’ah diartikan sebagai keberanian dalam berperang
melindungi anggota sesama golongannya, tidak jarang bangsa Arab membelas dendam
pada suku yang lain, lantaran anggota sukunya sendiri pernah dibunuh oleh suku
tersebut, tidak ada hukum yang berlaku dimasyarakat (common law), hanya
ada pembalasan dendam, demi menjaga keutuhan sukunya, dari serangan suku yang
lain, hidup tidak ada yang amoral dalam pembunuhan, kecuali membunuh rekan
sesame musuhnya[4]
Fatalism konsep muru’ah tersebut, membawa bangsa Arab pada
situasi konflik antar suku yang tidak ada habisnya, seakan peperangan antar
suku di Arab merupakan aktivitas sehari-hari. Keadaan yang sulit membawa mereka
pada ghazwu (penyeranga pada suku lain), berharap mendapatkan makanan
dan harta hasil jarahan meraka tersebut. Muru’ah dan ghazwu
menjadi identitas yang bangsa Arab yang sangat penting untuk melanjutkan
kehidupannya, serta memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Bangsa Arab pada masa sebelum Islam juga mempunyai kepercayaan yang
tidak rasional, mereka percaya kalau perempuan
akan membawa mereka pada kemiskinan dan kesengsaraan, sehingga dengan
membunuhnya adalah pilihan terbaik, untuk menghilang dua masalah tesebut.
Bahkan Sayyina Umar selaku sahabat Nabi, pernah menguburkan anaknya sendiri
hidup-hidup, dikarenakan anak tersebut berjenis kelami perempuan. Maski begitu
tidak semua suku yang ada di Arab percaya pada hal tersebut, tapi suku Arab
yakin kalau mendapatkan anak laki-laki lebih baik dari pada perampuan.
Hal tersebut hanya sedikit yang coba penulis lukiskan dalam
artikel, masih banyak lagi perbuatan bangsa Arab pra Islam yang tidak
berkemanusiaan. Dari uraian tersebut, setidaknya bangsa Arab pada masa lalu,
sudah mengenal dan menghargai para ilmuan dan penyair, hal tersebut bisa
dilihat dari sikapnya mengadakan perlombaan antar penyair yang bertempat di
pasar Ukaz, serta pemenang dari lomba tersebut, karyanya akan ditempelkan di
Ka’bah.[5]
C.
Islam Sebagai Awal Mendapat Martabat Kemanusiaan
Dalam bab ini, penulis menuliskan sejarah Muhammad bukan sejarah
Islam, disebabkan manifestasi nyata Islam di dunia adalah Muhammad itu sendiri,
bahkan disaat Siti Aisyah ditanyakan tentang pendefinisian Islam oleh sahabat,
Aisyah menjawab Islam adalah Nabi Muhammad. Sehingga tidak lain untuk memaknai
Islam, penulis harus kembali membahas Nabi Muhammad, sebagai manusia pilahan
yang diberi tanggung jawab menyebarkan Islam. Karena dekade-dekade yang
selanjutnya Islam sudah bersentuhan dengan budaya-budaya luar yang coba
mengadobsi Islam itu sendiri.
Muhammad sebagai Nabi dalam Islam, memiliki periode dan tahapan,
dalam merealisasikan konsep-konsep keislaman. Dakwah Muhammad dalam menjalankan
dakwah keislaman, setidaknya dalam rentang waktu dua puluh tiga tahun, tiga
belas tahun pertama, secara geografis Nabi Muhammad menyebarkan
dakwahnya di Mekah, pada periode ini Nabi Muhammad setidaknya menjalakan misi
ketuhanan, untuk merduksi konsep-konsep ketuhanan masyarakat Arab, hal itu
menjadi dasar awal, melepaskan akar masalah yang ada di Mekah waktu itu, serta
hegemoni politik, kebudyaan dan monopoli perdagangan yang cenderung tidak
manusiwi yang berlangsung di Mekah.[6]
Pada periode ini, Nabi memang mengalami cobaan yang begitu berat,
bahkan, bahkan tidak jarang para sejarawan terdahulu, melukiskan perjungan Nabi
Muhammad saat di Mekah, Nabi harus berani menentang paman-pamanya sendiri, demi
mengajarkan ajaran keislaman yang berperikemanusiaan. Hal itu tidak mudah,
sebab tantangan pertama hadir ditengah-tengah Beliau sendiri, bagaimana
Muhammad haru minta pertolongan pada orang lain, lantaran keluarga sendiri,
meniscayakan kematian Muhammad.
Dalam dekade kedua, Nabi Muhammad menyebarkan risalah
keislaman di Kota Madinah, dalam dekade ini, Islam hadir sebagai ajaran yang
menjunjung tinggi martabat kemanusiaan, serta menjunjung tinggi martabat
perdamaian. Penulis akan melukiskan bagaimana Islam, pada waktu itu datang
sebagai penolong bagi masyarakat Madinah, secara perlahan setidaknya Islam
ingin menghapus budaya yang sudah melenceng dari martabat kemanusiaan, seperti
perbudakan, monopoli politik dan agama yang kerap terjadi di Jazirah Arab waktu
itu.
Awal masuk Madinah, Nabi Muhammad mengkonsep miniatur negara yang
ideal di jalankan di kota Madinah, Madinah yang cenderung memiliki banyak
keyakinan, oleh Nabi Muhammad diadakan suatu perjanjian (dikenal dengan Piyagam
Madinah) yang menampung, semua keyakina tersebut dalam regulasi yang disepakati
12 suku yang ada di Madinah. Adapun perjajian tersebut antara lain sebagai
berikut:[7]
1.
Setiap kelompok dijamin kebebasan dalam beragama.
2.
Setiap kelompok berhak menghukum anggota kelompok yang bersalah.
3.
Setiap kelompok harus saling membantu untuk mempertahan Madinah
sebagai tempat tinggal.
4.
Serta Nabi Muhammad berhak memberi keputusan hukum, dari segala
perkara yang dihadapkan kepadanya.
5.
Nabi Muhammad berhak meletakkan pondasi politik, ekonomi dan
kemasyarakatan bagi Madinah.
Nabi Muhammad juga mengubah regulasi tentang pernikahan, dengan
membatasi pria boleh menikah dengan empat istri saja, serta ikatan yang
sah. Perbuatan tercela seperti mengharamkan judi dan minum khamr, serta mengangkat
martabat kemanusiaan seperti, dengan memberikan batasan pada aspek perdagangan
budak dan hak mereka yang sama dengan yang lain, serta aspek dosa yang
mewajibkan pembebasan budak, sebagai ganjaran yang melanggar hukum tersebut.
Pelan tapi pasti, sehingga tiak bisa disangkal, kalau Islam berperan besar
dalam menjujung tinggi martabat kemanusiaan.
D.
Islam Sebagai Jawaban Dekadensi Moral Kemanusiaan Bangsa Arab.
Islam sebagai agama rahmatan lil alami, setidaknya punya
peran besar dalam keberlansungan martabat kemanusiaa, dilihat dari kontra
diksi, sosial masyarakat di Mekah, di Era sebelum Islam, serta setelah Islam
meenginjakkan kakinya, sebagai batu pijakan masyarakat Arab waktu dalam
mengambil kesepekatan, serta regulasi yang mencerminkan keadilan bagi seluruh
masyarakat. Mungkin banyak yang tidak sadar, kalau Islam menjujung tinggi
martabat kemanusiaan, dengan melihat sejarah, bisa diketahui, Islam tidak hanya
memangdang dari aspek rohani saja, tapi mampu mentranformasikan dirinya pada
ranah sosial kemasyarakata.
Sosial Islam (sosial justice) diperkenalkan menjadi
pengganti tradisi jahiliyah yang kerrang bersahabat dengan kemanusiaan.
Meski pada aspek yang lain Islam sering kali disudutkan, pada radikalisai yang
mengatasnamakan agama, tapi pada dekade terdahulu Islam justru memberikan
konstruk yang berbeda dari pemaham masyarakat modern dalam memandang Islam.
Islam dulunya mengjadi ron model masyarakat yang bermartabat serta adil dalam
menjalankan peraturan.
Peperanga yang terjadi di masa Nabi, bukan hanya ingin merusak
ideologi dari golongan tersebut, tetapi dalam peperangan yang dilancarkan Islam
pada masa lalu, sebagao respon terhadap ketimpangan sosial yang terjadi disuatu
golongan, serta penaklukan bukan hanya tentang kerakusan Islam ingin menguasai
kaum tersebut, tapi hal itu upaya Nabi yang ingin memberikan solusi, pada
ketimpangan masyarakat yang ada disuatu wilayah yang berbeda dengan Islam. Hal
tersebut terlihat pada pembebasan kota Mekah (fathu Mekah), dengan
membebaskan kaum Quraisy dari jeratan hukum, dengan memberikan pengampunan atas
semua perbuatan dosa yang mereka lakukan, seperti berusah membunuh Nabi
Muhamma.
Serta piagam Madinah, mecerminkan bagaimana pemimpin harus
bersikap, ditengah ragam keyakinan yang dimiliki masyarakatnya. Hal itu
mecerminkan bertapa mulyanya Islam sebagai agama yang dibawa Muhammad, untuk
mengangakat martabat kemanusiaan, tidak ada ketimpangan sosial, orang yang kaya
harus membantu orang yang miskin, dengan memberikan sebagian kekayaannya pada
orang miskin tersebut. Perlu istilahnya pengkajian yang lebih komprehensip,
pada aspek-aspek kebudyaan pra Islam dan susudah Islam, supaya bisa terjawab
hakikat dari Islam sebagai mana mestinya, bukan hanya berangkat dari asumsi,
seperti orientalis yang mencoba mengkaji Islam yang terlepas dari historisitas
Islam, sebagai ajaran yang di bawakan Nabi Muhammad.
E.
Kesimpulan
Dalam uraiyan tersebut setidaknya ada tiga hal yang bisa
penulis simpulakan dalam artikel singkat ini, sebagai berikut:
Pertama, bangsa Arab
sebelum Islam, mengalami dekadensi martabat kemanusiaan, perampasan hak milik
yang dimiliki suku yang lemah menjadi ciri yang cukup siknifikan dari
merosotnya martabat kemanusiaan. Serta peraturan yang tidak sehat antara si
kaya dan si miskin. Perbudakan dan sisitem jual beli budak di mana-mana,
sehingga manusia seakan barang yang diperdagangkan, monopoli perdagangan,
dengan menempatkan Ka’bah sebagai tempat yang suci, untuk mendapat keutungan yang
lebih. Budaya balas dendam yang berimbas pada kekerasan antar suku.
Kedua, Setidaknya
setelah Islam masuk pada Jazirah Arab, memberikan regulasi yang jelas, bagaiman
keadilan ini harus dibentuk, dalam suatu negara, dengan bernegosiasi yang
mengasilakan Piagam Madinah. Serta memberikan arah yang jelas bagaimana hukum
harus dijalankan, demi terjaminnya kedamaian bersama. Serta menjujung martabat
kemanusiaan, seperti membatasi pria boleh menikah, dengan empat orang Istri
saja, serta meminmalisi perjualan budak, dengan system membebaskan budak pada
seseorang yang melanggar pertaran dalam Islam.
Ketiga Islam
mencerminkan keadilan bagi semua masyarakat, Islam menggati sosial jahiliyah
yang sudah jauh dari martabat kemanusian, dengan memanipulasi peraturan yang
datang kemasyarakat, sehingga masyarakat mendapatkan rasa aman atas apa yang
mereka miliki. Tidak seperti zaman jahilyah yang hanya mementingkan
nasibnya sendiri-sendiri. Partumpahan dari menjadi awal refolusi untuk
mendapatkan martabat kemanusiaan.
DAFTAR BACAAN
[1] Sri Haryanto, Pendekatan
Historis Dalam Studi Islam, Jurnal Ilmiah Studi Islam, Vol. 17. No. 1.
Desember 2017. Hlm. 131.
[2] Harun Nasution,
Tradisi Baru Penelitian Agama Islam Tinjauan Antar disiplin Ilmu, (Bandung:
Purjalit dan Nuansa, 1998), Hlm. 119.
[3] Taufik Adnan
Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Quran, (Yogyakarta: Forum Kajian Budaya
dan Agama, 2001), Hlm. 12-13.
[4] Karen Amstrong, Muhammad Sang Nabi: Sebuah Bigrafi Kritis, Terji:
Sirikit Syah, (Surabaya: Risalah Gusti, 2003), Hlm. 60.
[5] Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadist dan Historiografi Islam,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), Hlm. 245.
[6] Yuangga Kurnia Yahya, Pengaruh Penyebaran Islam di Timur Tengah
dan Afrika Utara: Studi Geobudaya dan Geopolitik, al-Tsaqafa: Jurnal
Peradaban Islam, Vol. 16 No. 1, Juni 2019, Hlm. 50.
[7] Dedi Supriadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka
Setia, 2016), Hlm. 64-65.
Posting Komentar