ANTARA SPIRITUALITAS DAN REALITAS: Fenomena Keimanan dan Implikasinya Pada Realitas Sosial

 Dalam menjalani realitas kehidupan seringkali kita terjebak dengan logika berfikir yang salah, dengan memberikan varian berbeda bagi setiap sendi-sendi kehidupan, seperti hanya, hal yang bernilai spiritual sering kali dianggap berbeda dengan hal yang bersifat materi, pada dasarnya dua komponin ini merupakan dua entitas yang tidak bisa dipisahkan, keduanya punya keterikatan fungsi, materi perlu pada spiritualitas, sebagai penawar bagi manusia untuk tidak serakah dalam menjalankan kehidupan, begitu pula spiritualitas butuh yang namanya materi, sebagai manifestasi nyata nurma etik kemanusia_an yang cenderung idealitas, sehingga Tuhan sebagai pencipta punya peran penting dalam kehidupan di dunia.

Keyakinan yang kuat (keimanan) bukan hadir sebagai ancaman pada kehidupan manusia, seperti kasus yang ada di Ambon dan Maluku, antara umat Islam dan Kristen atau kasus yang ada di Thailan, pembantaian yang dilakukan umat Hindu pada umat Islam dan beberapa kasus radikalisasi yang beratas namakan agama (keyakinan), sebab pada dasarnya, keimanan yang merupakan titik awal dari agama hadir sebagai power untuk menjunjung tinggi martabat kemanusia_an, seperti halnya Islam hadir disaat masyarakat Mekah pada waktu itu bertengkar atas nama golongan dan ras, sehingga Islam hadir sebagai pendamai antara beberapa golongan tersebut, agama Hindu juga hadir disaat masyarakat India mengalami ketimpangan sosial.

 Dari hal tersebut perlu Istilahnya pemaknaan ulang tetang legalitas keimanan, disebabkan keimanan di era modern ini sudah jauh dari arti iman sesungguhnya, iman pada dasarnya membawakan rahmat dan nilai-nilai yang positif pada kelangsungan kehidupan manusia, justru iman, saat ini membawa malapetaka bagi keberlangsungan hidup manusia, maka dari itu pemaduan kembali antara keimanan dan kehidupan merupakan sesuatu yang urgen di era milenial, melihat banyaknya radikalisasi yang beratas namakan agama, sehingga radikalisasi yang beratas namakan keimanan pada suatu agama tidak terulang kembali dikehidupan yang mendatang.

 B. Iman dan Realitas kehidupan. 

Keimanan seseorang berlatar namakan cintanya pada dzat yang disebut sebagai Tuhan, orang yang cinta pada Tuhan menganggap semua perkerjaan yang dilakukanya bermuara pada Tuhan, sebagai tempat dia kembali, banyak manusia yang mabuk kepayang dikarenakan cintanya akan dzat yang Maha Segalanya, hingga lupa pada kultur sosial yang membentuk dirinya di dunia, lupa akan realitas sosial, dikarenakan cintanya pada yang maha Esa, dia tahu kalau sebaik-baiknya tempat untuk memperbaiki kehidupannya hanya dengan jalan mendekat pada Tuhan, dengan bermudalkan dzikir atau menyepi dari keramayan manusia, parahnya lagi saat melihat realitas di dunia sedang kacau balau, sedang dalam peperangan, sehingga orang yang mengatakan dirinya beriman, memilih untuk memusnahkan ciptaan Tuhan, supaya kekacaan yang ada di dunia ini bisa dihilangkan.

Hasan Hanafi mengungkapkan bahwa bahwa hidup bertauhid dalam Islam sangat membingungkan akal manusia, hidup bertauhid sama halnya dengan hidup berimajenasi, sebab terlalu teosentri, dari pola semacam itu, perlu keberanian bagi umat Islam untuk menggeser Tuhid yang teosentris ke yang antroposentris, hidup bertauhid bertarti hidup untuk menyelesaikan problematika kehidupan, bukan berimajenasi tetang amal dan pahala yang akan diperoleh ketika di akhirat nanti, hidup bertauhid bererti merefleksikan kehidupan yang pantas untuk dijalani

C. Antara Pencipta dan Ciptaan.

Pencipta (Tuhan) dengan ciptaan mempunyai sisi yang berbeda, baik dari segi subtansi dan esensinya, sehingga mahkluk tidak punya hak otoritas untuk mengatur ciptaan seperti yang iya inginkan, hak otoritas untuk mengatur tatanan dan pola kehidupan hanya dimiliki Pencipta sebagai penggerak pertama kata Aristoteles, semua prilaku itu benar pada taraf individu, ketika prilaku tersebut belum sampai pada ranah sosial, barulah hal tersebut menjadi tanggung jawab manusia untuk meredam saat prilaku seseorang menjadi ancaman kemanusiaan, semisal tentang pencurian, penindasan dan korupsi, merupakan tanggunga jawab ciptaan untuk meminimalisir hal tersebut, sebab bersangkutan dengan tatanan sosial.

Sudah disinggung di atas hadirnya agama Islam sebagai penyelamat kelangsungan manusia, dengan meminimalisir perbudakan dan radikalisi yang bernamakan ras dan golongan, Nabi Muhammad sebagai pelatak dasar Islam di bumi, mengajak orang Arab bersikap baik dan meninggalkan ajaran nenek moyangnya yang cenderung keluar dari nurma kemaanusiaan, tapi tawanan dan beberapa kaum yang lain tidak sadar akan hal itu, bahkan Nabi dikira orang yang paling bersalah dalam menyeberakan hal tersebut, hal itu selaras dengan perkataan Ali Syariati punya kesadaran dan kecerdasan berfikir dimasyakat jahiliah merupakan dosa tanpa ampun

Iman pada dasarnya merupakan sumber lahirnya moralitas, iman yang selayaknya bersifat esoteris justru dengan adanya moral, diharapkan mempu menjadi manifestasi nyata dari keberadaan iman, sehingga nantinya tidak hanya difahami sebagai ritual liturgis, tapi mempu mentranformasikan dan mengimplemintasikan dalam kehidupan sehari-hari manusia, kehidupan yang merupakan keniscayaan yang harus dijalani oleh uman manusia, menjadi semakin bermakna dengan adanya iman yang mengontrol setiap laku manusia. Iman dan realitas kehidupan merupakan satuan murni yang dimiliki manusia sejak lahir, manusia tidak akan mempu hidup ketika dia tidak punya iman yang menjadi penupang dari setiap pekerjaannya, maka kenicayaan iman bagi manusia sangat urgen demi kelangsungan kehidupan manusia, bukan malah sebaliknya, iman menjadi bencana bagi kemanusiaan, maka sepantasnya iman harus terejawantakan di dunia dengan adanya moralitas

Referensi 

💪Adnan Amal Taufik, Rekonstruksi Sejarah al-Quran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001)

💪Armstrong Karen, Muhammad Sang Nabi: Sebuah Bografi Kritis, Terj: Sirikit Syah, (Surabaya: Risalah Gusti,2003)

💪Fahmi Zarkasyi Hamid, Misykat, Refleksi Tentang Islam Westernisasi & Libralisasi (Jakarta: INSISTS, 2021)

💪Kimbal Charles, When Religion Becomes Evil, (United Kingdom: Harpercollins, 2007)

💪Rumi Jalaluddi, Fihi Ma Fihi, Terj: Abd Koliq, (Yogyakarta: IKAPI, 2014)

💪Susan Novri, Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer, (Jakarta: Prenada Media Group,2009)

💪Syari’ati Ali, Paradigma Kaum Tertindas, Sebuah Kajian Sejarah Sosiologi Islam, Terj: Sayfullah Muhyidin, (Jakarta, al-Huda, 2001)









Post a Comment

Lebih baru Lebih lama