Belajar Etika Dari Bapak Etika Islam: Ibnu Miskawaih

  Nama Ibnu Miskawaih adalah Abu Ali Ahmad ibn Muhammad ibn Ya’kub ibn Miskawaih (Ensiklopedia Islam: 1997; 162). Dia dilahirkan di Ray pada tahun 320.H/932 M. dan miningal di Isfahan pada tahun 412 H/1030 M. banyak bidang keilmuan yang iya kuasai mulai dari fisafat sampai pada etika. Dalam bidang etika dan moral dia bicarakan dalam tiga bukunya yang berjudul Tartib as Sa’adah,Tahzib al Ahklak dan Jawidan khairat.

  Dalam bidang inilah Ibnu Miskawaih banyak disorot para ilmuan, iya mencoba memposisikan etika pada ranah teoritis filosofis yang pada dasarnya etika itu merupakan ilmu yang bersifat praktis, seperti halnya Islam hadir sebagai penyempurnaan akhlak manusia. Meski Ibnu Miskawaih ingin menaikan taraf etika ketingkat teoritis filosofis dia juga tidak meninggalkan aspek praktis etika itu sendiri.

Ibnu Miskawaih dikenal dengan bapak etika dalam Islam, sebab dialah peletak pertama dasar etika dalam Islam, konsep etikanya merupakan pemaduan antara konsep jiwa menurut Plato dan konsep material menurut Aristoteles, sehingga dari dua teori itu nantinya etika Ibnu Miskawaih dikenal dengan jalan tengan Nadza Aus’at, dengan memposisikan keutamaan akhlak berada ditengah dua kutub, yaitu, kutub ekstrimisme kelebihan dan ekstrimisme kekurangan.

  Definisi etika menurut Ibnu Miskawaih merupakan keadaan jiwa manusia yang melahirkan perbuatan, tanpa didasarkan pikiran dan perenungan, sehingga etika merupakan sikap seseorang untuk bahagia, Ibnu Meskawih membagi sikap itu menjadi dua, pertama berasal dari watak. Kedua prilaku manusia berasal dari latihan, hal perlu istilahn pembalajaran dalam mewujudkannya.

  Perilaku manusia yang berasal dari watak, merupakan pengetahuan yang diperoleh manusia sebelum bersentuhan dengan sosial, seperti perilaku menangis ketika sakit atau makan ketika lapar, perilaku ini cenderung tidak baik, disebabkan perilaku yang baik merupakan moral yang dibangun oleh manusia disetiap wilayah, sehingga pengetahuan bawaan belum tentu baik diterapkan didunia sosial.

  Perbuatan manusia yang berasal dari latihan, cenderung baik dilakukan, sebab perilaku tersebut merupakan serapan individu seseorang dari sekitar, sehingga dalam hal ini perlu namanya pembelajaran baik yang bersifat tekstual (belajar dari buku) atau kontekstual. Latihan ini merupakan penyaringan daya pikir manusia pada pebuatan masyarakat sekitar, dalam hal ini perlu istilahnya berbaur dengan dinamika sosial untuk memperoleh hakikat dirinya.

  Masalah pokok dalam etika menurut Ibnu Miskawaih ada tiga unsur, pertma al-Kair (kebaikan) kedua al-Sa’adah (kebahagian) ketiga al-Fadhilah (keutamaan), dari tiga hal inilah pondasi dalam berprilaku bisa kita peroleh. Kebaikan merupakan suatu keadaan dimana dimana kita telah sampai pada batas akhir dari kesempurnaan wujud sebagai manusia yang sejati.

  Dalam kebaikan Ibnu Miskawaih membaginya menjadi dua. Pertama kebaikan umum, prilaku yang disepakati baik oleh manusia, seperti menulong orang lain, prilaku menulong manusia semua sepakat kalau hal itu baik. Kedua kebaikan khusus, prilaku yang dianggap baik oleh dirinya itu sebagai kebaikan, seperti mendapat kebabasan memilih dalam beberapa hal, sebab kebabasan merupakan hak dari setiap individu manusia.

  Kebahagiaan merupakan pemenuhan hasrat bagi jiwa dan badan, tetapi dalam tingkatannya pemenuhan hasrat badan lebih rendah ketimbang jiwa, sebab jiwa mempunyai unsur kekal dan tidak berubah, sedangkan badan itu sendiri akan berubah seiring dengan waktu yang tetap berjalan, lagi pula kebahagiaan yang sifatnya materi mengandung penyesalan yang akan didapatkan, meskipun kita akan sekuat tenaga menahan penyesalan tersebut.

  Jalan Tengan (Nadza Aus’at) merupakan cara untuk mendapatkan kebahagian, dalam mendapatkan kebahagiaan menurut Ibnu Miskawaih tidak hanya memuaskan jiwa, dengan menambahkan spiritualitas atau mendapat pengetahuan, tapi butuh yang namanya materi untuk mengimplemintasikan apa yang sudah jiwa peroleh, sehingga yang kekal seperti jiwa bisa menyatu dengan jism (materi) yang sementara.

  Di era sekarang manusai sering kali berat sebelah, ada yang lebih mendahulukan materi, sibuk mendapatkan kekuasaan atau feninsial untuk mendapat kebahagiaan, ada pula yang mendahulakan pemuasan jiwa, hingga melakukan bom bunuh diri dan berharap masuk Surga, hingga lupa kalau dirinya mempunyai konskuensi moral sebagai khalifah di Bumi, menjaga stablitas kehidupan ini.

Keutamaan merupakan rasa cinta dan kasih pada sesame manusia, tanpa adanya kecintaan peradaban atau bangsa tidak akan mungkin bisa ditegakkan, sebab pada dasarnya manusia diciptakan hidup berdampingan antara satu dengan yang lain, dari hal itu mucul istilah empati pada sesame sebab menjalani kehidupan  bersama, dan menadapat mandat yang sama, yaitu sebagi pengganti Tuhan di bumi. 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama